Setelah lulus dari Akabri, ia langsung diperintahkan masuk Korps Pasukan Khusus, pasukan elit yang sudah tersohor sejak lama itu. Pada 1992-1994 ditugaskan di Timor Timur. Pada 2003-2004, Farid Makruf yang masih berpangkat Kapten ditugaskan bergabung dengan UNAMSIL (United Nation Mission in Sierra Leone).
Misi ini dibentuk oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak Oktober 1999 untuk membantu pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian Lomé, sebuah perjanjian yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang saudara Sierra Leone, Afrika Barat. Setelahnya, sejumlah penugasan dilakoninya termasuk menjadi Danrem 162/Wira Bhakti, Mataram 2016-2018 sampai Danrem 132/Tadulako, Palu.
Di Palu, ia menjadi wakil Penanggung Jawab Kendali Operasi (PJKO) Operasi Tinombala, kemudian Operasi Madago Raya yang memburu kelompok sipil bersenjata Mujahiddin Indonesia Timur. Bertugas di Palu, tak ubahnya mengulang apa yang sudah dikerjakannya di Mataram, NTB. Di Bima, dia melakukan upaya menghadang laju tumbuhnya radikalisme.
Saat gempa bumi Lombok 2018, ia menjadi Komandan Satuan Tugas Penanggulangan Darurat Bencana. Itu pula yang dihadapinya pasca bencana dahsyat Padagimo - Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong. Selain menjalankan tugas keseharian sebagai komandan satuan, ia juga menjadi Komandan Satgas Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Sulteng.
Gaya kepemimpinannya di satuan militer dan penugasannya bersama orang-orang sipil terpola dengan baik. Ia punya prinsip; Pemimpin yang baik itu tak harus berharap pujian, Ia cuma berpikir apa yang dilakukannya bisa bermanfaat buat orang banyak.
“Menjadi pemimpin itu berarti harus bermanfaat buat orang banyak,” kata anak lelaki pasangan H. Raden Mochammad Munir dan Hj. Siti Amina ini.
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan