JAKARTA, iNewsSidoarjo.id – Dalam Babad Tanah diceritakan tentang sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Wali Songo, yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.
Di samping wali-wali tersebut, masih banyak ulama yang dakwahnya satu koordinasi dengan Sunan Ampel yang bertugas sebagai seorang mufti tanah Jawi.
Hanya saja, sembilan tokoh Wali Songo yang dikenal selama ini memang memiliki peran dan karya menonjol dalam dakwah maupun dalam proses ketatanegaraan Demak. Meskipun disebut sebagai Wali Songo (Sembilan Wali), tetapi ada bukti bahwa anggota dari kesembilan wali hidup pada waktu yang berbeda tidak dalam waktu yang sama.
Setiap anggota Wali Songo saling dikaitkan dengan gelar Sunan dalam bahasa Jawa, konteks ini berarti "terhormat". Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim).
Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Samarkand, Asia Tengah, dia adalah seorang ahli tata negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M.
Jauh sebelum beliau datang, Islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan adanya makam Fatimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082.
Di kalangan rakyat jelata Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal sangat terkenal terutama di kalangan kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih tinggi.
Sunan Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama sederajat hanya orang yang beriman dan bertaqwa tinggi kedudukannya di sisi Allah. Dia mendirikan pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik dan menggenbleng para santri sebagai calon mubaligh.
Lalu Sunan Ampel (Raden Rahmat), adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama Dewi Candrawulan.
Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat dengan Surabaya. Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintoro, Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri dan dikenal sebagai Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishak.
Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Manjapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit, menjadi murid Ampel.
Sunan Ampel tercatat sebagai perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali lain.
Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim). Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau Putra Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid. Beliau dianggap sebagai pencipta gending jawa dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur.
Setelah belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke Bonang, Lasem dan Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren.
Sunan Giri merupakan putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Kebesaran Sunan Giri terlihat antara lain sebagai anggota dewan Walisongo. Nama Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak.
Ia pernah bertafakur di goa sunyi selama 40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah. Usai bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang dibawah dari negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang dinamakan Pesantren Giri.
Sunan Drajat, nama aslinya adalah Raden Syarifudin. Ada sumber yang lain yang mengatakan namanya adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu bernama Dewi Candrawati.
Jadi, Raden Qasim itu adalah saudaranya Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Oleh ayahnya yaitu Sunan Ampel, Raden Qasim diberi tugas untuk berdakwah di daerah sebalah barat Gresik, yaitu daerah antara Gresik dengan Tuban.
Di Desa Jalag itulah Raden Qasim mendirikan pesantren. Ia berdakwah dengan menggunakan kesenian rakyat, yaitu dengan menabuh seperangkat gamelan untuk mengumpulkan orang, setelah itu lalu diberi ceramah agama.
Sampai sekarang seperangkat gamelan itu masih tersimpan dengan baik di museum di dekat makamnya. Sunan Kalijaga. Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau putra Raden Sahur putra Temanggung Wilatika Adipati Tuban.
Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan kpeada rakyatnya.
Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir. Setelah diusir selain mengembara, ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan Bonang. Lalu Raden Sahid diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut.
Maka Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Sebagian kisah wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama.
Sunan Kudus (Ja’far Sadiq), menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya.
Beliau memiliki keahlian khusus dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika. Di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara.
Ada cerita yang mengatakan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban di Palestina. Atas jasanya itu, oleh pemerintah Palestiana ia diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah tersebut dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa setempat) permintaan itu dikabulkan.
Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan masjid di daerah Loran tahun 1549, masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan daerah sekitanya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama sebuah kota di Palestina, al-Quds.
Sunan Muria (Raden Umar Said). Salah seorang Wali Songo yang banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaan, pulau Jawa adalah Sunan Muria. Beliau lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara Kota Kudus sekarang).
Beliau adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat menganbil ikan tidak sampai keruh airnya.
Muria dalam menyebarkan agama Islam. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) menyebarkan Islam di pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Barat; juga pendiri Kesultanan Cirebon.
Nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dialah pendiri dinasti Raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. iNewsSidoarjo
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan