Tapi sejarah harusnya mengurut benih dari Kongres itu, karena Kongres itu sejatinya hanyalah perjalanan dari sebuah tonggak. Tonggak itulah yang harus jadi patokan karena dia adalah akar, bukan kongres yang menjadi buahnya. Kongres yang dihadiri 180 orang itu dari berbagai daerah itu, tidak mungkin terjadi kalau tidak ada yang memulai pergerakan mendirikan media, melawan penjajah dengan pikiran lewat tulisan.
Ketua IJTI Korda Blitar Roby Ridwan. (Foto:IJTI Blitar)
Memakai Kongres 1946 itu sebagai patokan meredusir peran pers menjadi sekadar sebagai pengisi kemerdekaan atau paling jauh mempertahankan kemerdekaan. Padahal para pendiri pers yang menjadi tonggak itu ikut memperjuangkan kemerdekaan. HPN itu bukan sekedar peringatan tentang kebebasan berpendapat, tapi kebebasan dan kemerdekaan dari belenggu penjajah, perannya sudah jauh sebelum kita merdeka.
Sementara itu, Robby Ridwan selaku Ketua IJTI Korda Blitar Raya dengan tegas tidak akan memperingati HPN pada 9 Februari. Ia meminta pada seluruh anggota IJTI untuk tidak terlibat dalam kegiatan HPN yang dilakukan organ lain ataupun Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang ikut merayakan. “IJTI akan memperingati HPN jika sudah ada perubahan tanggal dan bulan HPN oleh stakeholders yang dapat merepresentasikan perjuangan Pers Nasional atau adanya peristiwa pers nasional,” tegas Robby.
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan