get app
inews
Aa Read Next : Rumah Mewah Ini Ditempel Stiker Keluarga Miskin, Netizen Protes usai Viral

Nyaris Rp500 Triliun, Guru Besar Ramai-ramai Minta Audit Investigasi Bansos Jokowi

Kamis, 08 Februari 2024 | 12:23 WIB
header img
Sejumlah guru besar mengkritisi gempuran bansos Jokowi menjelang Pilpres 2024. FOTO/dok.SINDOnews

JAKARTA, iNewsSidoarjo.id – Program bantuan sosial (bansos) kerap dikaitkan sebagai komoditas elektoral.

Hal ini tidak terlepas dari temuan sejumlah bansos yang memuat pesan atau gambar pasangan calon tertentu.

"Bansos sekarang sudah menjadi alat politik.Indikasinya pertama, Penggelontoran besar-besaran bansos sekira Rp500 triliun dan terbesar salama reformasi, tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan," ujar Guru Besar Universitas Paramadina, Prof.

Didin S Damanhuri dalam diskusi online yang digelar Universitas Paramadia dan LP3ES, dikutip dari sindonews.com pada Kamis (8/2/2024). Diketahui bantuan sosial berupa beras ukuran 10 kilogram misalnya dengan gambar pasangan calon peserta pilpres ditemukan di beberapa daerah di Jawa Tengah dan fotonya beredar di aplikasi percakapan whatsapp.

"Itulah yang disebut gejala otorianisme baru," jelasnya.

Lebih parah lagi, pembagian bansos dilakukan Presiden Jokowi sendiri, bukan menteri sosial. Padahal kuasa pemegang anggaran ada di Menteri Sosial Tri Rismaharini yang tidak dalam keadaan berhalangan atau sakit. Dia menegaskan apabila bansos digelontorkan sangat besar menandakan bahwa kemiskinan kembali meningkat.

Namun faktanya, kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang Pilpres 2024.

"Kondisi ini memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan Pilpres. Di banyak daerah pembagian bansos bahkan dilabeli dengan Paslon 02 dengan pesan jika paslon 01 dan 02 menang maka bansos tidak lagi dibagikan," ungkapnya.

Lebih lanjut, Bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik Otoritarian. Suara-suara kampus dan civil society tidak diindahkan, bahkan tidak ada dialog sebagaimana dulu Soeharto mengadakan dialog dengan para mahasiswa.

Hal senada juga diungkapkan Dosen UGM Elan Satriawan. Dia menegaskan bansos saat ini memang sudah menjadi alat tujuan politik. Strategi penanggulangan kemiskinan yang terlalu happy pada bansos akan menjadikan bansos rentan politisasi.

"Bansos penting untuk penanggulangan kemiskinan, tapi masih begitu banyak tantangan yang dihadapi untuk menjadikan bansos efektif seperti yang diharapkan. Dan tanpa politisasi pun masalah-masalah itu masih terhampar di depan kita. Apalagi dengan masalah politisasi," jelasnya.

Dia menegaskan untuk menanggulangi kemiskinan bukan dengan bansos karena fungsinya hanya safety net atau jaring pengaman sosial. Fungsi menahan, namun tidak bisa mengangkat kesejahteraan signifikan dalam jangka pendek. Sebeb itu, butuh kehadiran negara dengan program yang bisa mengungkit atau mengangkat kapasitas ekonomi dari masyarakat bawah seperti pengembangan usaha, UMKM dan inkusivitas yang lain.

"Sayangnya program-program di atas tidak secara efektif dan sistematis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Yang dikenal masyarakat penanggulangan kemiskinan adalah bansos," tandasnya.

Sementara, Dosen Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati menyoroti anggaran bansos yang mengalami kenaikan tahun ini.

Dia beranggapan kenaikan anggaran bansos menjadi Rp496 triliun tahun ini dibandingkan periode lalu sebesar Rp476 triliun memang besar. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya tidak mencapai sasaran secara absolut tetapi juga soal pemerataan. Dana bansos yang paling besar pada 2020 sebesar Rp498 triliun di era pandemi Covid-19 kemudian turun menjadi Rp397 triliun pada 2021.

Editor : Yoyok Agusta Kurniawan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut