MALANG, iNewsSidoarjo.id – Sejumlah Relawan Masyarakat Peduli Api (MPA) dan masyarakat ikut membantu memadamkan kebakaran di Gunung Bromo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mereka pantang mundur meski sempat dikejar api dan nyaris terjebak.
Warga sekitar kawasan wisata Gunung Bromo tersebut berada di garda terdepan untuk memadamkan api di sejumlah lokasi yang sulit dijangkau. Pantauan di kawasan Blok Jemplang, Desa Ngadas, Poncokusumo, Malang, para relawan ini mayoritas merupakan pelaku wisata dan para pengelola wisata lain di sekitar Gunung Bromo.
Salah satunya komunitas jeep Bromo Tengger 4x4. Pakaian mereka biasanya bercirikan sarung dililitkan di leher sesuai adat masyarakat Tengger dan jaket tebal. Secara kasat mata memang bisa membedakan antara relawan dengan petugas BPBD yang berseragam oranye, serta instansi lain.
Para sopir jeep ini bergabung dengan petugas lain untuk memadamkan api dengan peralatan seadanya, bahkan dengan pakaian melekat di tubuhnya tak sesuai standar keamanan. Beberapa relawan dari masyarakat desa sekitar hanya bermodalkan sandal japit, tanpa sepatu pelindung, bahkan beberapa di antaranya menggunakan celana pendek, yang terkesan jauh dari standar keselamatan.
Hal ini diakui oleh Wildan Hangga seorang relawan dari komunitas jeep Bromo Tengger Semeru. Menurutnya, banyak dari anggota komunitas dan masyarakat sekitar yang menggunakan alat seadanya, bahkan yang melekat di tubuhnya.
"Ada yang pakai sandal jepit, ini celana pendek, tidak semuanya safety," kata Wildan Hangga saat ditemui di Pos Jemplang, Desa Ngadas, Poncokusumo, Malang, dikutip dari sindonews.com pada Rabu pagi (13/9/2023).
Menurut Wildan, para relawan ini biasanya berangkat dari rumah masing-masing pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB. Setibanya di kawasan Jemplang, ia dan rekan-rekan relawan lain langsung bergabung dengan petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), petugas Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB-TNBTS), kepolisian, dan unsur lain memadamkan api, dengan menggunakan gebyok berupa jaring modifikasi, ranting pohon besar, hingga parang untuk memotong dan mereduksi nyala api.
"Sebenarnya kami ini senang tok, nggak ada dukanya, cuma nggak ada alat support. Meskipun semangatnya sudah padam, berusaha kita matikan, kita gebyok, kita apa, tapi kan kalau nggak dukungan air disemprotkan sampai basah kalau bahasa mereka pendinginan itu percuma," tuturnya.
Keterlibatan relawan dari masyarakat sekitar disebut Wildan, juga merata di tiga titik lain di kawasan Gunung Bromo mulai dari sisi Wonokitri, Pasuruan, Sukapura, Probolinggo, dan di Senduro, Lumajang. Wildan pun menceritakan bagaimana susahnya mengakses medan di ketinggian hampir 2.000 meter di atas permukaan laut (Mdpl) lebih.
Perjalanan dari bawah savana padang rumput hingga ke titik api di Gunung Watangan memerlukan waktu dua jam lebih. Bahkan dirinya dan tim sempat berkejaran dengan api di atas di hari Senin dan Selasa kemarin, karena tiupan angin kencang.
"Ke situ kemarin untuk trekking saja sekitar 2,5 jam, sampai atas pindah jalur, pindah jalur, akhirnya kebakaran, melarikan diri, menyelamatkan diri. Jadi kita dikejar api. Tadi juga sempat terjebak, baru kejebak, tapi Alhamdulillah selamat semua kelompoknya lengkap," bebernya.
Baginya dan teman-teman relawan, membantu proses pemadaman api adalah panggilan dan kesadaran jiwa, meski tak ada jaminan keselamatan hingga asuransi jiwa. Ia pun berujar jika para relawan yang turut serta mengeluarkan biaya sendiri untuk membantu proses pemadaman, termasuk jika ada kerusakan di kendaraan operasional jeep masing-masing.
"Kesadaran saja, saya nggak bisa menggerakkan. Aku nggak ada jaminan, paguyuban cuma bisa ngasih makan dan air mineral, alat dan sebagainya biaya sendiri, kalau sampai ada apa-apa ya nggak tahu, beda kalau temen-temen kayak gini, kalau BPBD Jawa Timur ya ada asuransinya, temen-temen gini susah, urusannya sama pusat saja, nggak mati apinya nggak bekerja," terangnya.
Hal serupa dialami Fendi yang bahkan harus berjalan menelusuri bukit dengan kemiringan mencapai 40 derajat. Belum lagi ketika angin kencang hawa panas begitu terasa di lokasi titik api.
"Makanya teman-teman itu saling mengingatkan, kadang bawa air minum sendiri. Biar nggak dehidrasi, posisinya panas, angin kencang, api langsung membesar, sulit memang kalau alatnya seadanya," ucap Fendi.
Dirinya mengaku menggunakan alat seadanya bahkan tak jarang harus rela menjatuhkan diri ke tanaman tinggi untuk bisa memadamkan bara api. Doa sadar bila hal itu membahayakan dirinya dan beberapa temannya, tetapi demi api padam mau tidak mau pilihan itu harus diambil.
"Ya resiko penuh resiko kalau itu, secara pengamanan kita juga kurang kok. Semoga saja segera bisa padam, biar kami bisa kerja lagi," pungkas warga Desa Ngadas, Poncokusumo ini. iNewsSidoarjo
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan