get app
inews
Aa Read Next : Ribuan Warga Meriahkan Mlaku Bareng Milad ke-56 RS Siti Khodijah Sepanjang

Gagah! Inilah Sosok Mahapatih Gajah Mada Pemersatu Nusantara Hasil Pencitraan Artificial Intelligenc

Kamis, 04 Mei 2023 | 22:09 WIB
header img
Sosok Mahapatih Gajah Mada, hasil pecintraan artificial intelligence (AI) yang diunggah akun Instagram @ainusantara. Foto/Instagram/@ainusantara

GAJAH MADA, iNewsSidoarjo.id-Mahapatih Gajah Mada, membawa Majapahit pada masa keemasan, hingga mampu mempersatukan seluruh wilayah Nusantara.

Sosoknya selama ini digambarkan dalam sejumlah arca, sebagai pria bertubuh besar dengan rambut panjang digelung di bagian belakang kepala.

Melangsir dari Sindonews.com sosok Gajah Mada yang misterius tersebut, menurut hasil pencitaraan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, merupakan pria yang sangat gagah.

Hasil pencitraan AI tentang sosok Gajah Mada yang gagah itu, diunggah oleh akun Instagram @ainusantara.

Dalam keterangan rangkaian foto yang diunggahnya, @ainusantara menuliskan:

"Di zaman keemasan kerajaan Majapahit pada abad XIII, masa Prabu Hayam Wuruk ada dua tokoh militer jenius, yakni Mahapatih Gajah Mada, dan Laksamana Mpu Nala. Laksamana Mpu Nala sebagai Panglima Angkatan Laut Majapahit menempatkan ratusan kapal perang untuk menjaga lima titik penting perairan Nusantara,".

Tidak saja menampilkan sosok Gajah Mada yang perkasa. Unggahan itu juga membahas dan menampilkan gambar-gambar hasil pencitraan AI, tentang Laksamana Mpu Nala, serta kekuatan kapal-kapal perang Majapahit.

Akun @ainusantara menyebutkan, lima gugus armada kapal perang Majapahit, yakni gugus pertama yang berada di wilayah tugas Pulau Sumatera, hingga ke Selat Sunda.

Gugus armada kapal perang ini menjaga wilayah Saumdera Hindia, dan dipimpin oleh seorang laksamana dari Jawa Tengah. Gugus armada kapal perang kedua, menjadi penjaga Laut Kidul, atau laut selatan Jawa, dan dipusatkan di wilayah Blambangan (Banyuwangi).

Gugus armada kapal perang ini dipimpin laksamana dari Bali. Gugus armada kapal perang kedua, menjadi penjaga Laut Kidul, atau laut selatan Jawa, dan dipusatkan di wilayah Blambangan (Banyuwangi).

Gugus armada kapal perang ini dipimpin laksamana dari Bali. Kekuatan gugus armada kapal perang ketiga, dikerahkan menjaga di wilayah Selat Makassar, Ternate, Tidore, dan Halmahera yang merupakan wilayah penghasil rempah-rempah.

Putra Makassar, dipercaya menjadi laksamana yang memimpin gugus armada kapal perang ketiga ini.

Seorang laksamana dari Jawa Barat, diberi wilayah tugas yang paling berat, yakni menjadi pemimpin gugus armada kapal perang ke empat. Gugus ini bertugas menjaga keamanan Selat Malaka, dan Kepulauan Natuna. Di mana kawasan jalur perdagangan internasional ini, menjadi ladang para perompak yang bersembunyi di pesisir Campa, Vietnam, dan Tiongkok.

Sementara gugus armada kapal perang ke lima, berada di Laut Jawa, yang bertugas hingga ke wilayah perairan Maluku, sebagai wilayah penghasil rempah-rempah. Armada ini dipimpin laksamana dari Jawa Timur, yang juga bertugas mengibarkan bendera Majapahit, ditambah lagi bendera emas simbol istana Majapahit.

Setiap armada gugus kapal perang terdapat kapal bendera tempat kedudukan pimpinan komando tertinggi bagi semua kapal penyerang, kapal perbekalan, dan pelindung kapal bendera. Kapal perang Majapahit sudah dilengkapi meriam cetbang.

Jauh sebelum seluruh kekuatan penyatu Nusantara itu terbentuk, dan membawa Majapahit menjadi penguasa Nusantara. Gajah Mada yang telah teruji mampu menakhlukkan para pemberontak, ditunjuk menjadi mahapatih di Majapahit.

Penunjukkan itu, disambut Gajah Mada dengan mengucap sumpah Amukti Palapa.

"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa,".

Suara Gajah Mada menggelegar mengucap sumpah Amukti Palapa. Suaranya mengisi seluruh ruang istana Majapahit. Kisah pembacaan sumpah Gajah Mada, saat diangkat sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1334 M) tersebut, tercatat dalam kitab Pararaton.

Apabila diterjemahkan memiliki arti:

"Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".

Sumpah tersebut, sempat menggemparkan seantero Nusantara. Kegemparan itu, termuat dalam tulisan sejarawan Slamet Muljana dalam "Tafsir Sejarah Nagarakretagama".

Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif. Respons negatif para petinggi kerajaan Majapahit tersebut, membuat Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan.

Analisa tersebut, juga dikuatkan oleh tulisan Muhammad Yamin dalam "Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara".

Dalam tulisannya, Yamin menyebutkan, Gajah Mada meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana Tunggadewi.

Sang mahapatih merasa sakit hati karena harus menghadapi rintangan dari petinggi kerajaan, untuk mewujudkan sumpahnya.

Berbagai intrik politik yang didasari oleh rasa tidak suka dan kedengkian, menjangkiti internal kerajaan Majapahit, utamanya di kalangan para petinggi kerajaan. Meskipun dalam perjalanannya Gajah Mada, dibantu oleh Arya Tadah, ternyata Arya Tadah juga sempat ikut menertawakan sumpah yang diucapkan sang mahapatih.

Dalam tulisannya, Slamet Mujana menyebutkan, Arya Tadah atau Empu Krewes sebenarnya menyimpan rasa dengki terhadap Gajah Mada, karena dia tidak rela Gajah Mada menggantikan posisinya sebagai mahapatih di kerajaan Majapahit.

Di tengah badai intrik politik petinggi kerajaan Majapahit, Gajah Mada mulai mencoba mewujudkan sumpahnya untuk menyatukan Nusantara. Upaya itu dilakukan selama 21 tahun, yaitu pada tahun 1336-1357 Masehi.

Upaya penyatuan Nusantara itu, dilakukannya dengan menundukkan kerajaan-kerajaan yang berada di luar kekuasaan Majapahit, seperti Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura).

Dalam kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14, nama-nama kerajaan yang ditundukkan lebih banyak dari pada yang disebutkan sumpahnya. Penakhlukkan kerajaan-kerajaan di luar Majapahit, untuk mewujudkan Sumpah Palapa tersebut, terus dilakukan Gajah Mada saat raja Majapahit berganti dari Tribhuwanatunggadewi, ke Raja Hayam Wuruk (1350-1389).

Saat masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, Gajah Mada melakukan penakhlukan kerajaan-kerajaan di wilayah timur, di antaranya Sukun, Taliwung, Logajah, Gurun, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Timor, Dompo, Wanin, dan Seran.

Meskipun Gajah Mada adalah salah satu tokoh sentral di Kerajaan Majapahit, namun sangat sedikit catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya, termasuk siapa wanita yang menjadi kekasih atau istrinya karena sangat sedikit sekali referensi yang ada.

Dari berbagai referensi, tercatat ada tiga nama wanita yang dikaitkan dengan Mahapatih Gajah Mada. Pertama yaitu Puranti yang merupakan putri Demang Suryanata dari Kerajaan Kahuripan.

Kedua adalah Dyah Pitaloka Citaresmi putri Kerajaan Sunda, yang terkenal akan kecantikannya pada masa itu. Sedangkan yang ketiga yakni, Ni Luh Ayu Sekarini putri Ki Dukuh Gedangan dari Kerajaan Bali.

Berdasarkan Prasasti Aria Bebed yang berupa lempengan tembaga di halaman Candi Aria Bebed di Desa Bubunan, Kecamatan Sririt, Kabupaten Buleleng, Singaraja, hanya dengan Ni Luh Ayu Sekarini inilah Gajah Mada disebut-sebut menikah dan dikaruniai putera bernama Aria Bebed. Dalam prasasti tersebut, memuat cerita tentang Gajah Mada yang diutus Ratu Tribhuwanatunggadewi untuk melakukan penyerbuan dan penaklukan terhadap Kerajaan Bali.

Saat penaklukan Bali, Gajah Mada sempat mendatangi Pedukuhan Gedangan untuk bermeditasi. Gajah Mada melakukan meditasi di tempat itu sekitar empat bulan, dan sering bertemu dengan putri Ki Dukuh Gedangan yang bernama Ni Luh Ayu Sekarini.

Dikisahkan Gajah Mada langsung jatuh hati terhadap Ni Luh Ayu Sekarini yang cantik jelita. Benih-benih cinta tumbuh di antara keduanya, hingga sampai menikah. Dari pernikahan itu, Ni Luh Ayu Sekarini mengandung.

Namun sebelum anaknya lahir, Gajah Mada harus kembali ke Majapahit, karena dipanggil Ratu Tribhuwanatunggadewi.

Setelah putera Gajah Mada itu menjadi dewasa, dia mencari ayahnya ke Majapahit. Anak hasil buah cinta Gajah Mada dengan Ni Luh Ayu Sekarini, yang diberi nama Aria Bebed, sempat beberapa lama tinggal di Majapahit,sebelum akhirnya kembali ke Bali.

Sementara mengenai kisah cinta Gajah Mada dengan Puranti, dimuat dalam buku "Kisah Cinta Gajah Mada, Kontroversi Kehidupan Sang Mahapatih" karya Gesta Bayuadhy, Cetakan Pertama, 2015.

Kisahnya dimulai sebelum Gajah Mada menjadi prajurit Bhayangkara. Saat itu Gajah Mada dikenal sebagai seorang Bekel Dipa, atau prajurit biasa yang mengabdi di Kerajaan Kahuripan, yang merupakan kerajaan bawahan Majapahit.

Gajah Mada yang seorang prajurit, jatuh hati terhadap putri Demang Suryanata, dari Kerajaan Kahuripan yang bernama Puranti. Namun saat cinta keduanya bersemi sang kekasih Puranti ketika itu dilamar oleh Raden Damar, putra seorang patih bernama Rangga Tanding di Kahuripan.

Tentu saja Demang Suryanata tidak bisa menolak lamaran tersebut, mengingat dia adalah bawahan Patih Rangga Tanding. Posisi Gajah Mada yang seorang Bekel Dipa (prajurit biasa) hanya bisa menerima kenyataan, dan bersedia mundur demi kebahagian sang kekasih Puranti.

Celakanya ketika Gajah Mada tengah berduaan dengan Puranti dipergoki Raden Damar. Akibatnya Raden Damar salah paham, sehingga terjadilah pertarungan antara Gajah Mada dengan Raden Damar. Dalam pertarungan tersebut Raden Damar tewas, sehingga mengharuskan Gajah Mada pergi mengabdi ke Majapahit. Kisah cinta ini akhirnya terputus.

Sementara kisah cinta Gajah Mada dengan Dyah Pitaloka Citaresmi juga disebutkan dalam beberapa literatur. Putri Kerajaan Sunda tersebut, terkenal akan kecantikannya pada masa itu, dan terdengar hingga ke telinga Prabu Hayam Wuruk.

Namun saat Dyah Pitaloka dilamar Prabu Hayam Wuruk, sang patih berusaha menggagalkannya. Lalu terjadi Perang Bubat antara Majapahit dengan Kerajaan Sunda, yang menyebabkan Dyah Pitaloka bunuh diri karena seluruh pasukan Kerajaan Sunda yang dipimpin Maharaja Linggabuana berhasil dibunuh oleh prajurit Majapahit, pimpinan Gajah Mada.

Dari buku karya Gesta Bayuadhy juga disebutkan, kalau Gajah Mada adalah sesosok pimpinan yang tidak berambisi pada harta, tahta dan wanita. Ini disebut-sebut setelah Gajah Mada mengucapkan sumpah palapanya guna mempersatukan Nusantara.

Sosok sang mahapatih ini, dalam biografi novel sejarah karya Langit Kresna Hadi berjudul "Gajah Mada: Hamukti Palapa", yang diterbitkan Tiga Serangkai, Solo, juga disebutkan tidak berambisi pada wanita.

Dalam biografi tersebut ditulis kutipan dialog antara Gajah Mada dengan Mahapatih Arya Tadah tentang istri atau wanita.

Berikut kutipan tersebut:

"Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu,".

"Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika dia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan,".

Gajah Mada mampu mewujudkan sumpah palapanya dengan mempersatukan Nusantara di bawah panji Kerajaan Majapahit. Pelaksanaan politik penyatuan Nusantara, yang terinspirasi dari raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara tersebut, dilakukan Majapahit selama 21 tahun lamanya. iNewsSidoarjo.

Editor : Yoyok Agusta Kurniawan

Follow Berita iNews Sidoarjo di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut