Dia juga berpendapat, perlawanan lokal ini tak berdiri sendiri, serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta berkorelasi dengan operasi gerilya yang dikomando dari lereng Gunung Wilis, tempat Jenderal Soedirman bersembunyi dan menyusun strategi di Bajulan kecamatan Loceret Nganjuk, jejak markasnya masih ada sampai sekarang. “Rentetan panjang dari peristiwa pertempuran tersebut akhirnya Kota Nganjuk berhasil diduduki Belanda. Desa Kedungombo di Kecamatan Tanjung Anom menjadi pusat pemerintahan darurat dan para pejuang bermarkas di rumah-rumah warga,” jelasnya.
Sukadi juga menyinggung sosok pahlawan lokal, Kapten Kasihin, yang gugur melakukan perlawanan terhadap Belanda yang mengendus persembunyian para pejuang. "Namun pada April 1949, pasukan Belanda berhasil mengendus markas gerilyawan di desa Kedungdowo. Pertempuran sengit pun terjadi dan menewaskan Kapten Kasihin salah satu tokoh militer lokal yang kini dikenang sebagai pahlawan daerah. Namanya kini diabadikan dalam monumen air mancur di alun-alun Nganjuk, sebagai simbol pengorbanan dan keberanian," ungkapnya.
"Melihat panjangnya riwayat Jembatan Lama Kertosono, dari urat nadi ekonomi kolonial hingga arena pertempuran kemerdekaan, seharusnya jembatan ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010," imbuh Sukadi.
Lebih lanjut dia menegaskan bahwa semua data dan jejak sejarah itu nyata dan dapat diverifikasi. "Jembatan ini bukan sekadar infrastruktur tua, melainkan monumen hidup saksi bisu darah dan strategi perang rakyat kita,” pungkasnya.
Sementara itu, Aris Trio Effendi, pegiat sejarah Nganjuk menambahkan bahwa jembatan ini memainkan peran krusial pada masa pendudukan Jepang.
Ia menunjukkan peta strategi militer peninggalan Belanda yang menempatkan jembatan Kertosono sebagai titik pertahanan vital. “Antara 2 hingga 8 Maret 1942, terjadi pertempuran besar antara pasukan marinir Belanda dari Mojokerto, Porong, dan Pandaan melawan tentara Jepang yang datang dari barat,” terangnya.
Dari data yang dia punya, Aris menjelaskan pasukan Belanda, dipimpin Letnan Nass, mempertahankan jembatan itu sekuat tenaga. Namun Jepang berhasil mendesak mereka mundur ke Jombang dan Kediri. Sekitar 77 tentara Belanda dilaporkan gugur, hilang, atau tertangkap.
Setelah menguasai wilayah itu, Jepang memperbaiki jembatan pada 1943, menjadikannya sebagai jalur logistik militer baru. “Jembatan lama Kertosono mempunyai nilai penting tentang perjalanan panjang sejarah bagi masyarakat Nganjuk, mengingat usianya yang sudah mencapai lebih dari 100 tahun, seharusnya bangunan bersejarah ini menjadi cagar budaya yang perlu dirawat dan dijaga sesuai amanat undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya,” pungkas Aris.
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.