Kemudian, ada silang sengkarut data prevalensi perokok. Basis data yang digunakan Kemenko PMK maupun Kemenkes adalah data Riskesdas 5 tahunan.
Sementara, eksosistem tembakau berbasis data Badan Pusat Statistik (BPS). Bahwa berdasarkan data BPS, angka prevalensi perokok sudah turun. Dengan demikian, tidak relevan lagi menggunakan alasan prevalensi perokok untuk mendorong revisi PP 109/2012. "Data BPS sudah turun menjadi 3,4% untuk prevalensi anak, saya tanya apakah tahun depan ada dana kampanye untuk meningkatkan prevalensi anak?," kata Hananto.
Kembali ke Kemenko PMK, dirinya ingin menanyakan apakah bisa jujur apa tidak dalam situasi seperti ini? Ia menambahkan, kalau berbicara revisi PP 109/2012, mestinya introspeksi diri dulu baru bicara ke stakeholders bahwa perlu revisi dengan sejumlah argumentasi yang rasional dan seterusnya.
"Hari ini tidak ada yang dapat kami anggap sebagai alasan yang rasional kenapa perlu revisi. Misalnya, mereka mendorong adanya perbesaran gambar menjadi 90% bolak-balik di bungkus rokok. Kenapa langsung 90%, tidak ada studinya," ujarnya. Kementerian Kesehatan, pada 26 Desember 2022 masih ngotot (keukeuh) menggunakan nomor layanan berhenti merokok.
"Perlu diketahui pada tanggal 23 Januari 2023, layanan berhenti merokok (0800-177-6565) sudah ditutup. Pertanyaannya, apakah karena kami sering menanyakan program-program yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan? Kami sering pertanyakan karena hasil monitoring evaluasinya kami tidak dapatkan datanya," jelasnya.
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan
Artikel Terkait