Juga bagaimana strategi untuk mengembangkannya sehingga menjadi dinamis dan tidak membosankan. Sedangkan yang belum menjadi Sekolah Toleransi dapat mengawali bagaimana merancang program Sekolah Toleransi. Dari berbagai pengalaman yang dibagikan oleh para Guru Penggerak, terlihat bahwa mereka sudah melakukan berbagai praktik baik terkait toleransi di sekolahnya masing-masing.
Misalnya, ada sekolah Islam yang menerima siswa non muslim, dan ada pula sekolah Katolik yang menerima siswa beragama Islam. Salah satu guru dari SMP Santo Yusuf menyampaikan bahwa di sekolahnya, mereka tidak melakukan Kristenisasi atau Islamisasi kepada siswa non muslim.
"Karena yang kami ajarkan adalah pentingnya nilai-nilai cinta kasih tanpa harus menyebut Yesus dan sebagainya," ujarnya.
Ada juga guru yang menyampaikan bahwa selama ini siswa non muslim belum mendapat perhatian, namun belakangan sudah diberikan perhatian sehingga tidak disisihkan.
Bahkan, ada pula guru yang menyampaikan testimoni bahwa anak-anak inklusi sudah mendapatkan rasa percaya diri yang tinggi dan sama sekali tidak minder dengan anak-anak normal lainnya.
Sebaliknya, dengan keberadaan siswa berkebutuhan khusus di sekolah justru menjadi sarana belajar yang baik untuk mengasah jiwa toleransi.
"Intinya itu bahwa toleransi adalah sikap menghormati, menerima, dan merespon perbedaan," tegas Amin Hasan.
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan