SIDOARJO, iNews.id - Para Guru Penggerak di Sidoarjo didorong untuk menjadi motor penggerak dalam membudayakan toleransi di sekolah masing-masing. Hal ini mengemuka dalam acara "Focus Group Discussion (FGD) bagi Guru Penggerak untuk Pengembangan Sekolah Toleransi," yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan di Fave Hotel Sidoarjo, Selasa (30/4/2024).
Acara ini diikuti oleh 89 Guru Penggerak dari seluruh Sidoarjo dan dibuka oleh M. Nuh, Kasi GTK Disdikbud Kabupaten Sidoarjo. Dalam sambutannya, M. Nuh menyampaikan bahwa Guru Penggerak memiliki peran strategis dalam mengembangkan sekolah toleransi, karena mereka telah mendapatkan pembekalan tentang kepemimpinan pembelajaran, kolaborasi dengan orang tua dan komunitas, serta pengembangan visi sekolah.
Pertemuan ini merupakan yang kedua kalinya diselenggarakan oleh Komunitas BrangWetan. Yang pertama adalah bulan Februari lalu, diikuti oleh Guru Penggerak dari 50 sekolah yang menjadi sekolah penerima manfaat program Cinta Budaya Cinta Tanah Air (CBCTA).
Sedangkan kali ini adalah semua Guru Penggerak yang ada di Sidoarjo, termasuk sekolah yang tidak menjadi sekolah penerima manfaat. M. Amin Hasan, dari UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertindak selaku fasilitator acara ini mengharapkan bagi Guru Penggerak di sekolah penerima manfaat dapat membagikan pengalaman apa saja yang sudah dilakukan.
Juga bagaimana strategi untuk mengembangkannya sehingga menjadi dinamis dan tidak membosankan. Sedangkan yang belum menjadi Sekolah Toleransi dapat mengawali bagaimana merancang program Sekolah Toleransi. Dari berbagai pengalaman yang dibagikan oleh para Guru Penggerak, terlihat bahwa mereka sudah melakukan berbagai praktik baik terkait toleransi di sekolahnya masing-masing.
Misalnya, ada sekolah Islam yang menerima siswa non muslim, dan ada pula sekolah Katolik yang menerima siswa beragama Islam. Salah satu guru dari SMP Santo Yusuf menyampaikan bahwa di sekolahnya, mereka tidak melakukan Kristenisasi atau Islamisasi kepada siswa non muslim.
"Karena yang kami ajarkan adalah pentingnya nilai-nilai cinta kasih tanpa harus menyebut Yesus dan sebagainya," ujarnya.
Ada juga guru yang menyampaikan bahwa selama ini siswa non muslim belum mendapat perhatian, namun belakangan sudah diberikan perhatian sehingga tidak disisihkan.
Bahkan, ada pula guru yang menyampaikan testimoni bahwa anak-anak inklusi sudah mendapatkan rasa percaya diri yang tinggi dan sama sekali tidak minder dengan anak-anak normal lainnya.
Sebaliknya, dengan keberadaan siswa berkebutuhan khusus di sekolah justru menjadi sarana belajar yang baik untuk mengasah jiwa toleransi.
"Intinya itu bahwa toleransi adalah sikap menghormati, menerima, dan merespon perbedaan," tegas Amin Hasan.
Karena itu, program ini sengaja menyasar siswa SMP karena pendidikan toleransi sebaiknya dilakukan sejak dini.
"Kalau di SMP sudah menjadi siswa yang toleran maka Insya Allah tidak ada persoalan lagi di SMA," pungkas Amin Hasan.
FGD ini diharapkan dapat menghasilkan rumusan-rumusan program yang konkret dan aplikatif untuk mengembangkan sekolah toleransi di Sidoarjo.
Dengan demikian, diharapkan dapat mewujudkan generasi muda yang toleran dan menghargai perbedaan, sehingga dapat membangun bangsa Indonesia yang lebih maju dan bermartabat.
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan