MALANG, iNewsSidoarjo.id – Malang menjadi sebuah daerah yang turut mengirim pasukan untuk pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Pasukan ini terdiri dari beberapa tokoh agama kiai, santri, hingga Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dari Malang dan sekitarnya.
Menariknya sebelum berangkat ke medan pertempuran di Surabaya, pasukan dari Malang ini berkumpul di sebuah tanah kosong yang sekarang dibangun Masjid Sabilillah di pertigaan antara Jalan Ahmad Yani dan Jalan Borobudur, Blimbing, Kota Malang.
Pemerhati sejarah Malang Agung Buana menyatakan, para tentara terkumpul sebanyak 168 orang dari catatan sejarahnya. Mereka dari jajaran Laskar Hizbullah Malang raya dan sekitarnya, yang berasal dari tokoh ulama kiai dan santri pondok pesantren di Malang dan sekitarnya.
”Mereka berkumpul di lahan kosong yang sekarang jadi Masjid Sabilillah, berada di kawasan pertigaan Jalan Ahmad Yani, Blimbing, Kota Malang,” ucap Agung Buana kepada wartawan, dikutip dari sindonews.com pada kamis (9/11/2023).
Menariknya kata pria yang pernah menjadi Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang, pasukan ini tidak langsung berangkat mengarah ke Surabaya. Tetapi singgah di beberapa pondok-pondok pesantren, dan memutar.
”Pasukan ini nggak dikumpulkan dulu, terus langsung berangkat tidak, tapi berangkat sambil mengumpulkan pasukan. Jadi 168 pasukan itu tadi berangkat, kemudian ditambahi dari pondok-pondok yang dilewati,” ucap dia.
Selama perjalanan dari Malang hingga menuju perbatasan Surabaya, terdapat tambahan - tambahan personel dari sejumlah pondok pesantren yang dilintasi mulai dari Singosari, Lawang, Pandaan, Pasuruan, hingga tiba di Sidoarjo.
Total dari catatan Agung, ada sekitar 500 - 1.000 tentara gabungan dari kiai, santri, hingga Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
”Pemberhentian pertama di sebuah pabrik gula di Sidoarjo. Jadi kumpul dulu di situ, mereka menyusun rencana bagaimana cara masuk Surabaya, kalau secara logika, kalau tentara ini masuk Surabaya melewati Waru, Wonokromo, itu pasti sudah dihadang oleh tentara sekutu. Makanya mereka bergerak memutar ke arah barat,” terangnya.
Rute Laskar Hizbullah dan TKR, kemudian bergerak terus hingga menuju Jombang, dari sana pasukan bergeraklah menuju Mojokerto, melalui Balongbendo. Pasukan gabungan yang awalnya hanya 168 orang itu terus bertambah jumlah, mereka masuk ke Surabaya dari sisi utara.
“Berikutnya pasukan itu berhenti di permukiman warga di daerah Tembok Dukuh di wilayah Surabaya utara,” ucap Agung kembali.
Sekretaris Takmir Masjid Sabilillah, Akhmad Farkhan, menyatakan tentara rakyat Laskar Hizbullah dibawah KH. Zainul Arifin dan Laskar Sabilillah dibawah KH. Masjkur, sempat menjadikan tanah kosong yang kini menjadi bangunan Masjid Sabilillah sebagai titik kumpul.
“Dulu memang sini dijadikan markas untuk menggalang dukungan untuk bertempur ke Surabaya,” ungkap Farkhan ditemui di Ruangan Takmir Masjid Sabilillah.
Namun saat itu, lokasi beribadahnya di Masjid Jami Blimbing yang terletak di utara Masjid Sabilillah saat ini. Namun lantaran jama'ah yang terus bertambah terlebih pasca tahun 1960-an, keinginan untuk mendirikan masjid yang lebih besar muncul.
“Setelah tahun 1968 itu, jamaah masjid yang lama tidak lagi muat karena kian hari, jama'ah kian bertambah. Maka pada 1968 dibentuklah panitia pembangunan Masjid Blimbing yang baru oleh KH. Nakhrawi Thohir,” ujarnya.
Usai panitia terbentuk, peletakan batu pertama dilakukan pada tahun 1974 di sebuah tanah kosong di selatan Masjid Jami' Blimbing sempat dijadikan markas pejuang saat mengusir penjajah di pertempuran 10 November Surabaya.
”Karena berbagai hal pembangunan masjid ini sempat macet. Kemudian pada 4 Agustus 1974 atas prakarsa KH. Masykur dibicarakan kembali pembangunan masjid ini di rumah beliau di Singosari. Pada 8 Agustus 1974, pembangunan masjid ini dimulai kembali,” jelas Farkhan.
Farkhan menambahkan usai lanjutan pembangunan ini memerlukan waktu kurang lebih 6 tahun masjid ini rampung, dengan bantuan dari pemerintah daerah Tingkat II Kotamadya Malang kala itu. Sempat terhenti beberapa tahun, pembangunan masjid akhirnya selesai memakan waktu 6 tahun.
Masjid sendiri dibangun menempati tanah seluas 8.100 meter persegi, dengan terdiri dari tiga bangunan, bangunan induk masjid, bangunan menara, dan bangunan pelengkap ruang.
Uniknya Masjid Sabilillah ini memiliki konstruksi bangunan dengan melambangkan pergerakan perjuangan Indonesia, jumlah pilar di luar masjid sebanyak 17 buah melambangkan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara ketinggian masjid dari lantai bawah hingga atap yakni 8 meter melambangkan bulan dimana Indonesia merdeka dari penjajah.
Sementara tahun kemerdekaan Indonesia 1945 dilambangkan pada lebar masjid dan tinggi menara yakni 45 meter dari permukaan tanah. Jarak antar pilar satu dan lainnya juga memiliki filosofis, dimana dengan jarak 5 meter antar pilar melambangkan Pancasila dan rukun islam yang jumlahnya juga lima.
Di bagian menara masjid berbentuk segi 6 melambangkan rukun iman pada agama islam. Di dalam masjid, juga terdapat 9 pilar menyokong masjid yang melambangkan jumlah Wali Songo yang menjadi penyebar agama islam di Pulau Jawa. iNewsSidoarjo
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan