JAKARTA, iNews.id – Sayuti Melik sang pengetik naskah teks Proklamasi Kemerdekaan nyaris tewas saat disergap oleh sekelompok pemuda. Seorang rekan sesama bekas tahanan di Boven Digul menyelamatkan nyawa Sayuti Melik.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Sayuti Melik bekerja sebagai pembantu Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro. Dia menangani bidang kerakyatan.
Sesuai tugasnya, dia diutus memantau wilayah Karesidenan Pekalongan yang saat itu tengah bergolak. Pergolakan sosial politik dipicu adanya pro dan kontra antara kaum nasionalis dengan pejabat Pangreh Praja Pekalongan yang memilih tetap patuh kepada Jepang.
Kabar kemerdekaan Indonesia baru diketahui rakyat Pekalongan pada 18 Agustus 1945. Terdengarnya kabar kemerdekaan mendorong kaum nasionalis bergerak mengibarkan bendera Merah Putih.
Namun pejabat Pangreh Praja menghalangi. Sejumlah bendera Merah Putih yang sempat berkibar diturunkan paksa dengan alasan belum mendapat perintah dari Dai Nippon (Jepang).
Benturan sosial tak terhindarkan hingga Wongsonegoro memerintahkan Sayuti Melik memastikan situasi sosial politik di Pekalongan.
“Sayuti Melik bersama Subandrio dan Hugeng kemudian mendapat tugas dari Gubernur Jawa Tengah untuk mengunjungi karesidenan Pekalongan,” dikutip dari buku S.K Trimurti Pejuang Perempuan Indonesia (2016) yang dilansir melalui iNews.id pada Senin (21/8/2023).
Nahas, Saat bersama KH Iskandar Idris, yakni komandan resimen 17 TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan Kiai Bisri untuk menemui Kutil, seorang jagoan di Tegal, mobil yang ditumpangi Sayuti Melik diadang sekelompok pemuda.
Sayuti dan kedua rekannya diseret keluar dari mobil dengan mata tertutup. Dengan tangan terikat, mereka digelandang menuju kantor bekas BKR Ujung Rusi dan diperlakukan kasar.
Para pemuda mengira Sayuti Melik dan dua rekannya yang kemudian dibawa ke AMRI Slawi merupakan petugas Pangreh Praja yang hendak kabur. Dalam waktu cukup lama, orang dekat Presiden Soekarno itu dipaksa duduk di tepi jalan.
Dari percakapan yang terlontar, Sayuti mendengar dirinya tinggal menunggu waktu untuk dieksekusi. Beruntung di bekas pabrik gula di Slawi, Sayuti Melik bertemu dengan Suwignyo.
Dia kawan perjuangan Syuti Melik saat sama-sama menjalani hukuman penjara di Boven Digul. Suwignyo merupakan bagian dari gerombolan pemuda nasionalis yang menyergapnya.
Suwignyo lantas membebaskan Sayuti Melik yang sebelumnya menjelaskan dirinya hanya menjalankan perintah Gubernur Jawa Tengah. Atas bantuan Suwignyo juga, Sayuti bisa meminjam fasilitas telepon markas AMRI Slawi. Melalui saluran telepon dia melaporkan apa yang tejadi di Pekalongan kepada Markas Besar Tentara di Yogyakarta.
SK Trimurti yang mendengar kabar suaminya berhasil bebas dari penangkapan gerombolan pemuda akhirnya menyusul ke wilayah karesidenan Pekalongan. Dengan kelihaiannya menyusup dan selalu mengucap salam merdeka sembari mengepalkan tangan kiri ke atas udara, dia berhasil masuk Pekalongan.
SK Trimurti bertemu Sayuti Melik di rumah Kiai Abu Sujai di Tegal. Kiai Suaji merupakan tokoh mulism yang terkenal anti-Belanda dan Jepang. Sayuti Melik disarankan kembali ke Yogyakarta guna melaporkan peristiwa tiga daerah (Brebes, Tegal dan Pemalang).
Sebab SK. Trimurti juga mendengar kabar gerombolan pemberontak tengah memburu Sayuti Melik. Kabar itu ternyata benar. Untungnya Sayuti sudah bergegas ke Yogyakarta.
“Benar dugaan S.K Trimurti bahwa setelah kembali ke hotel, sudah ada banyak segerombolan orang yang menunggunya di sana untuk mencari Sayuti. Hati S.K Trimurti lebih tenang dengan kepercayaan diri ia mengatakan bahwa Sayuti pergi ke Yogyakarta”.
Sayuti Melik yang terlahir dengan nama Mohammad Ibnu Sayuti 22 November 1908 di Sleman Yogyakarta, meninggal dunia pada 27 Februari 1989. iNewsSidoarjo
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan
Artikel Terkait