Tiga Fragmen Arca Ditemukan di Nganjuk, Diduga Sisa Karesian Masa Hindu–Buddha
NGANJUK, iNewsSidoarjo.id - Tiga fragmen arca ditemukan di Situs Condrogeni, kawasan Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk.
Temuan itu menambah daftar panjang tinggalan arkeologis di lereng Gunung Wilis yang selama ini dikenal kaya peninggalan masa klasik Hindu-Buddha. Penemuan berlangsung beberapa waktu lalu.
Suryanto, juru pelihara situs Condro Geni, tak sengaja menemukan batu berukir saat membersihkan semak di area atas situs. “Saya lihat ada ukiran di batu, lalu saya timbun lagi dan lapor ke Pak Amin, Kabid Kebudayaan Disporabudpar Nganjuk,” ujarnya, Kamis (13/11/2025).
Tim dari Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Nganjuk bersama Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) serta komunitas pecinta sejarah dan ekologi Kotasejuk kemudian meninjau lokasi.
Mereka melakukan dokumentasi awal, identifikasi, dan langkah konservasi sederhana untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Hasil identifikasi sementara menunjukkan, ketiga fragmen itu terdiri atas satu bagian badan arca Dwarapala setinggi sekitar 50 sentimeter tanpa kepala, tangan, dan kaki, satu bagian kepala arca dengan rambut gimbal dan telinga beranting kundala, serta satu fragmen arca penokohan dengan posisi tangan bersedekap di depan dada, mengenakan kain panjang hingga mata kaki.
Fragmen terakhir itu menampilkan detail lipatan kain setengah lingkaran di bagian depan pinggang, ciri busana arca masa klasik yang sering dijumpai pada figur resi atau dewa. Selain ketiga fragmen tersebut, ditemukan pula satu batu berbentuk persegi empat yang diduga sebagai lapik atau alas arca.
Seluruh bagian terbuat dari batu andesit, dengan pahatan sederhana dan permukaan kasar, menandakan pengerjaan lokal atau mungkin hasil karya pada periode akhir klasik Jawa Timur. “Dari bentuk rambut gimbal dan perhiasan telinga, jelas kepala arca itu Dwarapala. Tapi ukurannya lebih besar dari fragmen badan yang ditemukan, jadi kemungkinan bukan satu kesatuan. Sementara arca dengan tangan bersedekap ini masih perlu penelitian lebih lanjut apakah figur resi atau dewa,” ujar Sukadi, anggota Tim Ahli Cagar Budaya sekaligus Humas Kotasejuk.
Sukadi menduga, situs Condro Geni dulunya merupakan karesian, kompleks pertapaan atau kadewaguruan tempat para resi atau pendeta menjalani tapa.
Dugaan itu diperkuat dengan kondisi geografis situs yang berada di ketinggian 1.114 meter di atas permukaan laut, dekat sumber air, dan dikelilingi hutan lereng yang sunyi. “Ciri situs pertapaan biasanya berundak tiga teras, dengan tangga batu penghubung antar tingkat. Pola itu juga terlihat di Condro Geni, meski sebagian struktur sudah tertutup tanah dan semak,” katanya.
Di teras pertama, terdapat arca Dwarapala bersenjata mirip pedang atau kadga ditangan kanan dan tangan kiri di perut. Sekitar 50 meter di atasnya, di teras kedua, berdiri Dwarapala lain dengan posisi memegang gada di sisi kiri tubuh.
Teras ketiga menjadi lokasi ditemukannya tiga fragmen arca baru tersebut, bersama satu batu persegi yang diduga alas atau bagian pagar gapura. “Ini menarik, karena umumnya Dwarapala berpasangan dan bersenjatakan gada. Sementara yang di Condro Geni satunya justru membawa pedang. Itu bisa jadi penanda fungsi gerbang berbeda, mungkin pembeda antara sisi profan dan sakral,” tambah Sukadi.
Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, seluruh fragmen sementara ditimbun kembali di tempat semula sambil menunggu langkah lanjutan dari pihak berwenang. Pencarian fragmen lain tetap akan dilakukan secara bertahap, mengingat sebagian besar area situs tertutup semak dan medan curam.
Situs Condro Geni berada sekitar tiga kilometer di bawah Air Terjun Sedudo, objek wisata alam populer di Nganjuk. Untuk mencapainya, tim harus berjalan kaki sejauh satu kilometer menyusuri jalan setapak yang licin di musim hujan.
Di balik kesunyian lereng Wilis itu, peninggalan batu-batu tua Condro Geni seolah menyimpan kisah panjang spiritualitas Jawa kuno, jejak para resi yang pernah bertapa di antara kabut dan hening gunung.
Editor : Aini Arifin