SURABAYA, iNews.id - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perkumpulan Warga Negara untuk Pemilu Jurdil melaporkan tememuan 52 juta Data Pemilih Sementara (DPS) invalid atau bermasalah ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Temuan tersebut mendapat sorotan dari berbagai pihak, yang mendesak KPU segera memperbaiki DPS sebelum diumumkan. Artinya, penetapan DPT ditunda sebelum DPS diperbaiki.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, ikut menyoroti masalah tersebut. Senator asal Jawa Timur itu meminta agar KPU dan pihak terkait untuk menunda penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan dirilis 21 Juni 2023 mendatang.
"Kami sangat concern dengan itu (data pemilih). Saya ingatkan kepada KPU dan semua pihak terkait untuk memverifikasi temuan tersebut. Jangan main-main dengan data pemilu, karena ini berkaitan dengan kedaulatan rakyat. Berkaitan dengan kualitas demokrasi di tanah air kita. Saya akan panggil pihak terkait melalui Komite I DPD RI. Dan tunda dulu itu pengumuman DPT," ujar LaNyalla, Sabtu (17/6/2023).
LaNyalla menambahkan, temuan tersebut bukan hanya sekadar angka-angka belaka. Lebih jauh daripada itu, LaNyalla menilai temuan tersebut berkaitan dengan indeks demokrasi Indonesia. Apalagi, berdasarkan data yang dilansir Masyarakat Transparansi Internasional menyatakan, Indeks Demokrasi Indonesia juga mengalami penurunan.
"Padahal, ketika Reformasi digulirkan, salah satu tujuannya adalah meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Tetapi faktanya, di dalam Pilpres dan Pilkada masih ditemukan banyak kecurangan yang diduga terstruktur, sistematis dan masif," kata LaNyalla.
Menurut LaNyalla, apa yang terjadi saat ini imbas atau dampak dari kita meninggalkan rumusan bernegara yang disusun para pendiri bangsa. Rumusan bernegara yang terdapat di dalam Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945, yang telah diubah total dalam amandemen di era Reformasi saat itu. Bahkan perubahan itu mencapai lebih dari 95 persen.
Bahkan, LaNyalla melanjutkan, Pancasila tidak lagi tercermin dalam isi pasal-pasal Konstitusi hasil perubahan itu. Yang tercermin justru nilai-nilai lain, yaitu ideologi Liberalisme dan Individualisme.
"Inilah hasil dari kita menerapkan ideologi Liberalisme dan Individualisme. Kita telah rasakan sejak Reformasi digulirkan. Maka kita perlu membaca ulang sistem bernegara kita sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri bangsa kita," tutur LaNyalla.
Sebagai Negara Kepulauan, LaNyalla menyebut Indonesia memiliki jarak bentang dari Sabang sampai Merauke sama dengan jarak dari London sampai Kazakhstan. Sedangkan bentangan dari Miangas sampai Pulau Rote sama dengan jarak dari Moskow sampai Kairo.
Maka, keterwakilan di parlemen melalui penjelmaan rakyat di Lembaga Tertinggi Negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sistem yang paling tepat, sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa.
Menurut LaNyalla, kecurangan-kecurangan seperti ini akan terus terjadi jika bangsa ini masih dan terus menggunakan cara pemilihan presiden langsung ala liberal Barat.
"Maka dari itu kembalikan Indonesia ke UUD 45 naskah asli. Hanya sistem Demokrasi Pancasila dengan Lembaga Tertinggi yaitu MPR yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari penjelmaan rakyat. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan memiliki saluran dan memiliki ruang keterlibatan di dalam lembaga negara, untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini, karena di MPR," katanya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta