Kemudian baru direkomendasikan pada ketua RW. Pemanfaatan itu mulai September 2019. "Ada 38 orang yang daftar, tapi yang aktif 20 orang," ungkapnya. Baru berjalan beberapa bulan, namun ada warga yang bukan KTP desa setempat melaporkan ke Polda Jatim bahwa diduga memanfaatkan RTH.
Abror pun mengaku kaget dengan laporan tersebut. Ia tidak tau jika lahan yang dimanfaatkan warga sekitar tersebut ternyata RTH. Ia sempat melakukan mediasi dengan warganya.
Bahkan dia juga sempat menerbitkan surat edaran agar lahan itu tidak lagi dipergunakan warga untuk berjualan. Harapannya tentu agar kondusifitas di wilayahnya bisa terjaga dan proses hukumnya dihentikan.
"Tapi malah tetap berlanjut hingga saya jadi tersangka. Maka dari itu saya datang ke sini harapannya bisa dapat solusi dari pemkab," ungkapnya.
"Penggunaan lahan ini kan agar warga bisa berdaulat ekonominya karena kondisi pandemi, tapi kalau memang tidak berkenan, ya saya hentikan melalui edaran itu," ujarnya.
Kuasa Hukum Abror, Dimas menyampaikan, ada beberapa hal yang menurutnya perlu ditelaah lebih jauh dalam penetapan tersangka kliennya itu. Sebab, penggunaannya itu sudah melalui musyawarah warga setempat.
Lebih jauh menurut dia, jika lahan yang dimaksud tersebut RTH, artinya sudah diserahkan ke Pemkab oleh developer. Sehingga, menurut dia, ada kewenangan pemerintah untuk memberikan solusi perihal permasalahan yang menimpa warganya itu.
"Maka dari itu tujuan kami datang ke sini untuk meminta kejelasan perihal tindak lanjut permasalahan ini," ungkapnya. Ia pun meminta seharusnya Pemda setempat memberikan sosialisasi dan pemberian tanda di setiap fasum dan fasos yang sudah diserahkan developer.
"Kalau seperti ini kan kasian masyarakat bawah. Biar masyarakat itu tau kalau itu sudah diserahkan ke Pemda. Kalau seperti ini instansi dinas terkait untuk mencari solusi, tapi malah di Polda ditindaklanjuti dengan penetapan tersangka yang menurut saya perlu dikaji lagi penetapannya ini," pungkasnya.
Editor : Nanang Ichwan