Ia mencontohkan kasus Candi Banjarsari yang masih berada di lahan masyarakat dan belum bisa dibebaskan karena belum ada koordinasi lintas dinas. “Penyelamatan ODCB memerlukan biaya besar, mulai dari pembebasan lahan hingga transportasi benda dan pengamanan. Sayangnya, alokasi anggaran saat ini lebih banyak terserap untuk honor juru pelihara, bukan operasional penyelamatan di lapangan,” jelas Amin.
Ia juga menyinggung adanya Peraturan Bupati Nganjuk Nomor 3 Tahun 2025 yang sudah mengatur tentang pelestarian warisan budaya, termasuk sumber pendanaan dari APBD, hibah, dan sumber sah lainnya. Namun realisasinya masih terkendala proses birokrasi dan minimnya dukungan lintas lembaga, termasuk TAPD dan DPRD.
Dinas Kebudayaan menyatakan terbuka bekerja sama dengan komunitas pelestari budaya, dan menjadikan laporan masyarakat sebagai bahan registrasi lebih lanjut. Namun tanpa penguatan kelembagaan dan dukungan anggaran yang memadai, penyelamatan ODCB dikhawatirkan tidak akan optimal. “Jangan sampai setelah rusak, baru ramai-ramai menyalahkan. Kita butuh kesadaran bersama untuk menjaga warisan budaya ini,” tegas Amin.
Hingga kini, belum ada data resmi dari pemerintah daerah mengenai jumlah pasti ODCB yang terlantar di Nganjuk. Namun Kotasejuk memperkirakan jumlahnya sudah mencapai ratusan, dan sebagian besar berada di lokasi yang rawan pencurian maupun kerusakan akibat alam.
Editor : Aini Arifin
Artikel Terkait
