get app
inews
Aa Text
Read Next : Jadi Ikon Kuliner Nganjuk, Desa Gejagan Gelar Festival 1000 Botok

Kisah Jembatan Lama Kertosono, Saksi Bisu Perjuangan Rakyat Nganjuk Melawan Penjajahan Belanda

Sabtu, 02 Agustus 2025 | 11:18 WIB
header img
Jembatan kertosono usai di robohkan. Foto:ist

NGANJUK, iNewsSidoarjo.id-Di atas derasnya Sungai Brantas, menjulang sebuah jembatan besi tua yang telah menjadi nadi kehidupan Kertosono selama lebih dari seabad. Namun, Jembatan Lama Kertosono bukan sekadar penghubung fisik antar wilayah. Ia adalah saksi bisu perjalanan panjang sejarah dari denyut ekonomi kolonial, pendudukan militer asing, hingga perjuangan berdarah rakyat Indonesia demi kemerdekaan.

Menurut Sukadi, salah satu pemerhati cagar budaya Nganjuk, jembatan ini menyimpan rekam jejak historis yang tak ternilai. Ia merujuk pada sejumlah arsip surat kabar kolonial Belanda yang mencatat awal mula pembangunannya. “Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan proyek pembangunan jembatan Kertosono dengan alokasi dana sebesar 490.000 gulden,” jelas Sukadi, mengutip Bataviaasch Nieuwsblad edisi 4 April 1917.

Kata Sukadi, rencana awal menyebutkan pembangunan dimulai sebelum 1920, namun hambatan teknis membuat pelaksanaannya molor. Ia mengutip dari Harian De Locomotief (17 Mei 1920) mencatat jembatan itu ditargetkan rampung pada 1921, Namun realisasi berkata lain.

Berdasarkan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië (7 Maret 1925), jembatan baru bisa digunakan publik pada tahun 1924 menunjukkan adanya deviasi signifikan dari perencanaan awal. “Keterlambatan ini menggambarkan peliknya pembangunan infrastruktur kolonial, terutama di wilayah pedalaman Jawa yang saat itu mulai digiring ke dalam sistem ekonomi kapitalis kolonial,” terang Sukadi.

Memasuki babak Revolusi Kemerdekaan, Jembatan Kertosono kembali menjadi medan pertarungan penting. Dalam rangka memutus jalur logistik utama Belanda dari Surabaya menuju Yogyakarta ibu kota Republik saat itu para pejuang merancang sabotase besar-besaran terhadap jembatan ini.

Sukadi, yang telah lama meneliti sejarah Nganjuk juga mengungkap kesaksian almarhum Mbah Siswoyo, veteran gerilya yang diwawancarainya pada tahun 2019 lalu dan di unggah di channel YouTube Nganjuk TV miliknya. “Para pejuang membawa 3,5 kuintal bahan peledak untuk menghancurkan jembatan, namun gagal karena struktur bangunan kolonial yang amat kokoh,” ungkap Sukadi menirukan pernyataan narasumbernya.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa Mbah Siswoyo, juga memimpin penanaman ranjau di sepanjang jalur antara jembatan hingga Baron. Dalam salah satu aksi gerilya, mereka bahkan menggunakan sarang tawon sebagai senjata taktis untuk menyerang patroli Belanda, serangan yang menghancurkan satu panser dan menewaskan satu tentara. "Namun keberanian para pejuang dibalas kejam. Belanda melakukan penyisiran brutal di desa-desa yang dicurigai menjadi basis gerilya seperti Gebang Kerep, Plimping, dan Sedan. Berdasarkan laporan militer Belanda, sekitar 50 warga sipil tewas dan sejumlah rumah dibakar dalam operasi balasan," papar mantan guru SMPN 1 Bagor tersebut.

Dia juga berpendapat, perlawanan lokal ini tak berdiri sendiri, serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta berkorelasi dengan operasi gerilya yang dikomando dari lereng Gunung Wilis, tempat Jenderal Soedirman bersembunyi dan menyusun strategi di Bajulan kecamatan Loceret Nganjuk, jejak markasnya masih ada sampai sekarang. “Rentetan panjang dari peristiwa pertempuran tersebut akhirnya Kota Nganjuk berhasil diduduki Belanda. Desa Kedungombo di Kecamatan Tanjung Anom menjadi pusat pemerintahan darurat dan para pejuang bermarkas di rumah-rumah warga,” jelasnya.

Sukadi juga menyinggung sosok pahlawan lokal, Kapten Kasihin, yang gugur melakukan perlawanan terhadap Belanda yang mengendus persembunyian para pejuang. "Namun pada April 1949, pasukan Belanda berhasil mengendus markas gerilyawan di desa Kedungdowo. Pertempuran sengit pun terjadi dan menewaskan Kapten Kasihin salah satu tokoh militer lokal yang kini dikenang sebagai pahlawan daerah. Namanya kini diabadikan dalam monumen air mancur di alun-alun Nganjuk, sebagai simbol pengorbanan dan keberanian," ungkapnya.

"Melihat panjangnya riwayat Jembatan Lama Kertosono, dari urat nadi ekonomi kolonial hingga arena pertempuran kemerdekaan, seharusnya jembatan ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010," imbuh Sukadi.

Lebih lanjut dia menegaskan bahwa semua data dan jejak sejarah itu nyata dan dapat diverifikasi. "Jembatan ini bukan sekadar infrastruktur tua, melainkan monumen hidup saksi bisu darah dan strategi perang rakyat kita,” pungkasnya.
 
Sementara itu, Aris Trio Effendi, pegiat sejarah Nganjuk menambahkan bahwa jembatan ini memainkan peran krusial pada masa pendudukan Jepang.
 
Ia menunjukkan peta strategi militer peninggalan Belanda yang menempatkan jembatan Kertosono sebagai titik pertahanan vital. “Antara 2 hingga 8 Maret 1942, terjadi pertempuran besar antara pasukan marinir Belanda dari Mojokerto, Porong, dan Pandaan melawan tentara Jepang yang datang dari barat,” terangnya.
 
Dari data yang dia punya, Aris menjelaskan pasukan Belanda, dipimpin Letnan Nass, mempertahankan jembatan itu sekuat tenaga. Namun Jepang berhasil mendesak mereka mundur ke Jombang dan Kediri. Sekitar 77 tentara Belanda dilaporkan gugur, hilang, atau tertangkap.
 
Setelah menguasai wilayah itu, Jepang memperbaiki jembatan pada 1943, menjadikannya sebagai jalur logistik militer baru. “Jembatan lama Kertosono mempunyai nilai penting tentang perjalanan panjang sejarah bagi masyarakat Nganjuk, mengingat usianya yang sudah mencapai lebih dari 100 tahun, seharusnya bangunan bersejarah ini menjadi cagar budaya yang perlu dirawat dan dijaga sesuai amanat undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya,” pungkas Aris.

Editor : Yoyok Agusta Kurniawan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut