CIMAHI, iNewsSidoarjo.id - Di Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi terdapat hutan larangan yang menggambarkan tempat keramat oleh masyarakat setempat.
Suasananya masih padat dan hijau dengan ragam flora fauna yang tumbuh subur dan terjaga. Jika ingin memasuki hutan larangan yang berada di kawasan Kampung Adat Cireundeu ada larangan dan pantangannya, karena tempat itu masih memegang teguh kelestarian tradisi dan budaya dari nenek moyang ditengah hingar bingar perkotaan di Cimahi.
"Hutan larangan itu konsepnya seserahan. Bukan kita tidak boleh masuk ke situ, tapi jangan sampai merusak alam," kata Sesepuh Kampung Adat Cireundeu, Abah Widi, dikutip dari iNews.id Kamis (30/11/2023).
Kampung Adat Cireundeu lokasinya berada di sebuah lembah yang dihimpit tiga gunung yakni Kunci, Cimenteng, dan Gajahlangu yang memiliki hamparan alam yang menawan. Pesonanya berbinar, lantaran kearifan lokal masyarakat dalam melestarikan anugerah alam.
Suasana perkampungan masih sangat terasa dan bertentangan dengan wilayah lainnya di Kota Cimahi. Di sisi lain pesona alamnya, Kampung Adat Cireundeu juga terdapat Hutan Tutupan, Baladahan, hingga Puncak Salam. Kabarnya, tempat ini tidak bisa sembarangan dimasuki.
Dahulu, warga yang akan menginjakkan kaki di tempat tersebut, wajin untuk mutih atau puasa total. Namun akhir-akhir ini banyak pengunjung dari masyrakat umum ke Hutan Larangan, Hutan Tutupan, Baladahan, hingga Puncak Salam.
Pengunjung pun dipersilahkan masuk ke hutan larangan, dengan ketentuan melepas alas kaki baik itu sandal maupun sepatu. Ketentuan untuk memasuki tempat yang dianggap keramat itu hingga kini masih berlangsung.
Yaitu tidak menggunakan alas kaki hingga tidak memakai baju berwarna merah. tentunya hal ini dilakukan, karena masyarakat adat Cireundeu masih yakin bahwa manusia dan alam merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Tidak menggunakan alas kaki dilakukan agar manusia menikmati sentuhan alam secara langsung. Tidak menggunakan alas kaki menunjukkan kepercayaan bahwa 'Gusti anu ngasih' (Tuhan yang mengasihi), 'alam anu ngasah' (alam yang mendidik) dan 'manusa nu ngasuh' (manusia yang menjaga).
"Itu memang ada yang harus dipikirkan aturan Adat. Memang seperti itu kalau dibebaskan alam akan rusak, karena semua berani," kata Abah Widi.
Dikutip dari iNews.id Selain itu, masyarakat juga dilarang mengumpan dan berburu satwa di kawaasan tersebut. Masyarakat yang menginginkan pohon untuk ditebang pun diperbolehkan, hanya saja dengan syarat harus ada pohon pengganti yang ditanam.
Hal itulah yang dilestarikan di Kampung Adat Cireundeu.
"Jadi kalau ada orang bawa senapan angin ke sini, abah suruh pulang lagi. Jangan ganggu hewan yang ada di Cireundeu karena itu keindahan alam. Mudah-mudahan kita sadar jangan sampai sembarangan merusak alam, merusak tanaman," tutur dia.
Asal muasal pemberian nama Kampung Cireundeu berawal dari 'Pohon Rendeu' yang mana kampung ini pernah ditumbuhi banyak sekali pohon jenis Rendeu. Pohon itu sering digunakan bahan obat herbal. Oleh karena itu, masyarakat mulai menyebutnya sebagai Kampung Cireundeu.
ditengah pesatnya kemajuan zaman, Kampung ini masih menjaga tradisi dan budaya para leluhurnya. Kampung Adat Cireundeu memiliki luas 64 hektare yang terdiri dari 60 hektare untuk kawasan pertanian dan 4 ha untuk kawasan pemukiman.
Sebagian besar masyaraktnya berkeyakinan dan memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan hingga saat ini.
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan