Pada akhirnya, DJP pun Kembali mengumpulkan dokumen-dokumen sejarah yang berasal dari berbagai pihak. Apabila ditelusuri dalam perjalanan sejarah di negara Indonesia ini, pajak sebetulnya telah ada dan dikenal pada masa Kerajaan Nusantara. Pada masa itu, penguasa wilayah atau raja memegang kendali penuh terhadap daerah yang menjadi kekuasaannya.
Sang raja memberlakukan pungutan kepada rakyatnya untuk membiayai seluruh daerah kekuasaan miliknya. Dan rakyat pun memberikan upeti kepada kerajaan. Pada masa kolonial Belanda, juga dikenal dengan sistem yang digagas oleh Thomas Stamford Raffles.
Sistem pajak rancangan dari Thomas Stamford Raffles ini disebut juga dengan pajak tanah (landrent), yang di mana bagi orang memiliki tanah atau menggarap tanah, diwajibkan untuk membayar pajak.
Namun, pada saat DJP berusaha mengumpulkan data-data sejarah terkait dengan awal perpajakan di negeri ini, pada saat yang sama pula Arsip Nasional Republik Indonesia membuka secara terbatas dokumentasi dokumen yang autentik berkaitan dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI – PPKI) yang merupakan koleksi dari AK Pringgodigdo yang sempat dirampas oleh Belanda (Sekutu) pada saat mereka memasuki Yogyakarta dan menangkap Bung Karno pada 1946.
Melalui dokumen ini diketahui bahwa, kata pajak pertama kali muncul dengan disebut oleh Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Radjiman Wediodiningrat dalam sidang panitia kecil yang membahas mengenai keuangan dalam masa reses BPUPKI setelah Soekarno membacakan pidatonya yang terkenal pada 1 Juni 1945.
Pada butir keempat dalam lima usulan yang disampaikan oleh Radjiman, menyebutkan bahwa “Pemungutan Pajak harus diatur hukum”.
Dalam masa reses yang terjadi pada 2 – 9 Juli 1945, anggota BPUPKI telah berhasil mengumpulkan sembilan usulan dan salah satu butir usulan tersebut membahas mengenai keuangan.
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan