JAKARTA, iNewsSidoarjo.id – Penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di kediaman Laksamana Maeda ternyata diwarnai perselisihan sengit antara kelompok tua dan muda.
Pemicunya adalah lontaran sarkas kaum muda kepada kelompok tua. Kaum muda menyebut kelompok tua sebagai budak Jepang. Sontak saja hal itu membuat kelompok tua meradang.
“Karena pernyataan itu timbullah heboh, terutama dari pihak yang merasa dirinya disebut budak-budak Jepang,” dilansir dari iNews.id melalui buku Seputar Proklamasi Kemerdekaan, Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang (2015), Rabu (9/8/2023).
Kaum muda terang-terangan menyatakan tidak rela para budak Jepang ikut membubuhkan tanda tangan di naskah proklamasi. Mereka dinilai hanya kumpulan oportunis yang mendapat kursi karena pengabdian kepada pemerintah militer Dai Nippon (Jepang) dan bukan bagian pergerakan nasional.
Dalam situasi yang panas itu, Sukarni, perwakilan tokoh muda yang sempat menculik Soekarno-Hatta untuk dibawa ke Rengasdengklok akhirnya tampil ke muka. Pemuda radikal asal Blitar Jawa Timur yang juga kader Tan Malaka itu mengusulkan hanya Bung Karno dan Bung Hatta yang menandatangani teks Proklamasi Kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia.
Usulan Sukarni diterima dan sekaligus mendinginkan suasana yang dipicu tudingan budak-budak Jepang itu. Namun, usulan adanya ungkapan revolusioner 'merebut kekuasaan' dari Sukarni telah memantik perdebatan baru.
Kalimat merebut kekuasaan dalam teks Proklamasi Kemerdekaan dinilai sebagai pemaksaan.
“Apakah merebut itu berarti merebut senjata dari tangan prajurit Jepang yang menjalankan perintah Sekutu?,” dikutip dari Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan.
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan
Artikel Terkait