JAKARTA, iNewsSidoarjo.id-Sunan Kalijaga merupakan satu dari Sembilan Wali ( Wali Songo ) yang ada di Tanah Jawa. Beliau (Sunan Kalijaga) juga dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam di Tanah Jawa yang penuh dengan legenda.
Usia mubaligh karismatik yang juga dikenal sebagai seorang dalang wayang kulit itu dikisahkan hidup selama lebih dari 100 tahun.
Dari kitab Babad Tanah Jawi mengisahkan bahwa Sunan Kalijaga lahir dari pada 1455 dengan nama Raden Mas Said. Ayahnya adalah Ki Tumenggung Wilatikta, Bupati di Tuban, Jawa Timur.
Melangsir dari okezone.com Rabu ( 6/4/2022) menurut beberapa riwayat, nama Kalijaga beraasal dari rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”, yang disesuaikan dengan lidah orang Jawa. Nama itu sendiri berarti pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Sunan Kalijaga diperkirakan hidup selama lebih dari 100 tahun, mengalami masa kekuasaan beberapa kerajaan besar di Jawa. Dia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1479), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1541 serta awal kehadiran kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.
Dalam berdakwah Sunan Kalijaga memakai pertunjukan wayang kulit, memodifikasi wayang purwa yang terbuat dari kulit kerbau menjadi wayang kulit bercorak Islami. Sunan Kalijaga selalu menyelenggarakan pertunjukan wayang di tempat-tempat yang tidak jauh dari masjid.
Di sekeliling tempat pagelaran wayang, Sunan Kalijaga lalu membuat parit yang mengalir di dalamnya air yang jernih. Parit ini dibuat untuk melatih para penonton wayang agar mencuci kaki sebelum masuk masjid.
Sunan Kalijaga melakukan perjalanan berkeliling untuk berdakwah, keluar masuk hutan dan pegunungan, siang malam. Kegiatan dakwahnya itu membuatnya dikenal sebagai “mubaligh keliling” atau Dai keliling.
Sebagai ulama besar atau seorang wali memiliki karisma tersendiri di antara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Di sebagian tempat dia juga dikenal bernama “Syeh Malaya”.
Sunan Kalijaga merupakan seorang ahli budaya, yang mengenalkan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat atau kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami).
Dia menciptakan baju taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan Dandanggulo dan Dandanggula Semarangan). Ia juga pencipta seni ukir bermotif daun-daunan.
Karya lainnya adalah tiang Masjid Demak yang terbuat dari tatal, gamelan Naga Wilanga, gamelan Guntur Madu, gamelan Nyai Sekati, gamelan Kyai Sekati, wayang kulit Purwa, baju takwa, kain balik, tembang Dhandhanggula dan syair-syair pesantren. Di dalam tembang Dhandhanggula tergambar makna-makna kehidupan.
Sunan Kalijaga memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di masjid guna mengerjakan shalat berjamaah. Selain itu membuat acara ritual berupa gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh atau pengajian akbar yang diselenggarakan di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi.
Ia dikenal juga sebagai pencipta gong sekaten atau Gong Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakna bahwa “mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam”. Tercatat pula sebagai pencipta wayang kulit di atas kulit kambing juga sebagai dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar).
Di antara para wali sembilan, Sunan Kalijaga merupakan sosok wali yang berjiwa besar, pemimpin, mubaligh, pujangga dan filsuf, yang berdakwah di area yang luas. Saat melakukan tabligh, Sunan Kalijaga senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan pelajar.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau, karena arena caranya beliau menyiarkan agama Islam yang disesuaikan dengan aliran zaman. Dia adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh ke masa depan. Ia seorang wali yang ternama serta disegani.
Ia terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan. Dalam cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an, hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha. Dengan kata lain, masyarakat masih memegang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Cerita wayang itu antara lain Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci serta Petruk Jadi Raja dan Wahyu Widayat, serta sebagai ahli dalam hal pengaturan istana atau kabupaten dengan alun-alun serta pohon beringin dan masjid.
Masyarakat saat itu masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya. Oleh karena itu mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam.
Asimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengembangkan agama Islam. Gamelan untuk dakwah.iNewsSidoarjo.id
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan
Artikel Terkait