JAKARTA, iNewsSidoarjo.id - Pemerintah tengah melakukan sosialisasi penerapan Kurikulum Merdeka sebagai pengganti dari Kurikulum 2013. Kurikulum Merdeka diyakini lebih leluasa dan fleksibel dalam proses pembelajaran, tidak hanya sekadar mengejar penyampaian materi dan pemenuhan standar nilai mutu atau KKM.
Salah satu contoh konkrit saat penerapan Kurikulum Merdeka di salah satu sekolah yakni di mana siswa kelas 5 SD ternyata belum bisa membaca. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo dalam Selayang Pandang Merdeka Belajar, dikutip dari okzone.com pada Minggu (17/9/2023).
Dia menjelaskan saat Kurikulum Merdeka mulai diterapkan, para guru bisa melihat kualitas siswa satu persatu secara detail. Dan ternyata ditemukan seorang siswa di suatu daerah, belum bisa membaca meski sudah kelas 5 SD.
“Di level murid misalnya, asesmen pada muridnya, seorang guru ternyata baru tahu ada murid kelas 5 SD gak bisa baca, mereka syok. Kenapa? Sebab selama ini pengajaran dilakukan bukan membuat anak fokus belajar, tapi hanya sekadar memenuhi KKM,” tuturnya kepada wartawan.
Menurutnya, selama ini guru hanya sekadar menyampaikan materi dan tidak memahami apakah siswa menangkap apa yang dipelajari atau tidak. Dengan adanya Kurikulum Merdeka yang fleksibel, anak tersebut langsung dikejar kemampuan membacanya, dan kini malah menjadi anak yang senang belajar.
“Itu contoh konkrit bagaimana belajar adalah mengubah paradigma, dari sekadar sampaikan materi, ubah dari penuhi KKM, atau melihat muridnya satu persatu,” ujarnya.
Pendidikan Tak Bisa Diseragamkan Dia menegaskan bahwa pendidikan tidak bisa diseragamkan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal itu harus menyesuaikan dengan masing-masing lokasi, kapasitas guru dan siswa, disesuaikan dengan budaya dan kearifan lokal.
“Oh supaya seragam, seragamkan saja semuanya. Itu asumsi keliru. Untuk mencapai tujuan yang sama, kadang konteksnya beda, justru kalau penyeragaman dilakukan nasional akan sulit,” katanya.
“Bayangkan di Indonesia Timur misalnya, ada sekolah SD muridnya datang ke sekolah, banyak yang belum bisa bahasa Indonesia, bukan hanya belum bisa membaca tapi bisanya pakai bahasa daerah. Nah harus belajar bahasa Indonesia dulu. Pertanyaannya, apakah kurikulum untuk SD itu apakah cocok untuk sekolah di Jaksel? Padahal anak-anak Jakarta sudah bagus bahasa Inggris-nya. Tentu kurikulumnya akan berbeda. Ini harus kita koreksi, untuk mengatasi kesenjangan bukan penyeragaman, yang kita lakukan justru adalah memberi ruang, sambil memberikan alat-alat bantu yang diperlukan,” katanya.
Kurikulum Merdeka menerapkan modul-modul yang bervariasi dan format lesson plan untuk para guru yang akan diikuti guru seluruh Indonesia. Dan guru bisa berinovasi sesuai dengan perkembangan anak.
“Pendekatan penyeragaman itu, mengasumsikan guru sekadar pelaksana, gak punya otonomi. Malah guru akan sulit belajar, akan gagap, ruang yang dibuka akan terjadi kegagapan. Sekolah misalnya hanya belajar bahasa indonesia dulu, kita siapkan perangkatnya, bahasa jembatannya. Tapi sekolah yg advance, canggih tematik, alat bantu yang kita siapkan, platform merdeka belajar, siapkan alat bantu untuk guru,” pungkasnya. iNewsSidoarjo
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan
Artikel Terkait