Semua kesatuan tentara yang dianggap mengganggu keamanan umum kota, ia lucuti. Soemarsono secara radikal mengganti residen Sumadikun yang tidak di tempat dengan Wakil Wali Kota Supardi dari FDR. Suhu politik Madiun pun sontak panas.
Pada 18-19 September 1948 malam, Amir beserta rombongan, yakni termasuk Musso bergerak ke Madiun. Mereka datang untuk memenuhi permintaan pimpinan FDR setempat. Presiden Soekarno pada 19 September 1948 petang menyebut peristiwa Madiun sebagai kudeta.
Bung Karno mengutuk kudeta PKI Musso dan Amir Syarifuddin di Madiun. Bung Karno juga berseru kepada golongan loyalis untuk merebut Madiun.
“Pilih Soekarno-Hatta atau Musso dengan PKI nya,” tegas Soekarno.
Amir Syarifuddin tidak tinggal diam. Pada 23 September 1948 ia berusaha membalas Soekarno dengan pidato tandingan yang menyatakan menolak tuduhan kudeta. Amir juga berusaha mendinginkan suasana politik.
“Pidato Amir melalui radio Madiun menolak tuduhan kudeta kaum komunis di Madiun, dan berusaha meredakan suasana,” ujarnya.
Pemerintahan Soekarno kukuh menganggap peristiwa Madiun yang berhasil dipadamkan sebagai upaya pemberontakan. Amir yang menjalani interview di penjara Kudus pada 2 Desember 1948, tetap menyangkal tuduhan kudeta yang direncanakannya.
Dua hari kemudian atau 4 Desember 1948, Amir bersama dua koleganya dipindah ke rumah tahanan di Benteng Yogyakarta. Sebelumnya ia diarak keliling kota sebagai pesakitan politik. Masih di bulan Desember 1948, Amir secara diam-diam dibawa ke Solo, Jawa Tengah.
Ia diangkut dengan truk bersama sebelas orang tahanan politik lain. Pada tengah malam 19 Desember 1948, Amir Syarifuddin, bekas perdana menteri dan menteri pertahanan RI, dieksekusi di wilayah Desa Ngalihan, dekat Solo. Ia pesakitan pertama yang menjalani eksekusi tembak mati. iNewsSidoarjo
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan
Artikel Terkait