JAKARTA, iNewsSidoarjo.id - Laksamana Cheng Ho terkenal dengan penjelajah asal China tiba di Nusantara, yang memeluk agama islam. Konon Cheng Ho awalnya memulai ekspedisi ke negara-negara lain di awal abad 15 di masa pemerintahan Kaisar Yung-lo dari Rajakula Ming.
Dikutip dari sindonews.com pada Senin (17/6/2024) melalui "Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" dari sejarawan Prof. Slamet Muljana, menunjukkan sebelum ekspedisi kaisar Yung-lo yang dipimpin oleh Cheng Ho sudah di Palembang dan Sambas, sudah ada orang-orang keturunan Tionghoa yang menetap.
Saat itu Cheng Ho lantas menemukan berbagai pedagang Cina di berbagai pelabuhan yang disinggahinya di Asia Tenggara. Selain berdagang, konon Cheng Ho juga berhasil membebaskan beberapa wilayah-wilayah di Palembang dan nusantara, dari perampok - perampok Hokkian.
Di sanalah kemudian di situ laksamana Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam yang pertama di Nusantara. Cheng Ho juga lantas membentuk masyarakat komunitas masyarakat Tionghoa di Sambas.
Pada tahun 1405, di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho, singgah di bandar Samudera Pasai. Laksamana Cheng Ho bertemu dengan sultan Samudera Pasai, Zainal Abidin Bahian Syah.
Kedatangan Cheng Ho di Samudera Pasai untuk mengadakan hubungan politik dan hubungan dagang. Nama Zainal Abidin Bahian Syah juga disebut dalam kronik Tionghoa dari zaman pemerintahan rajakula Ming, dengan bunyi Tsai Nu Lia Pie Ting Kie.
Yang menarik perhatian adalah setelah ada hubungan baik antara Tiongkok dan Samudera Pasai makin banyaklah saudagar-saudagar Tionghoa datang ke Pasai. Di saat itulah semakin banyak pula orang-orang Tionghoa yang memeluk agama Islam, kawin dengan wanita Samudera dan menetap pula di sana, sehingga bertambahlah percampuran darah dari keturunan Tionghoa di sana.
Keturunannya terdapat di perkampungan - perkampungan mereka di daerah Kroceng Pirak, Sungai Perak dekat Lho Sukon. Memang sebelum abad ke-19, imigran Cina hanya terdiri dari orang laki-laki saja. Di tempat-tempat baru yang mereka datangi, imigran Cina itu lalu kawin dengan wanita setempat atau wanita Cina peranakan.
Maksudnya, wanita Cina yang dilahirkan dari perkawinan antara Tionghoa laki-laki dan wanita pribumi. Barulah migrasi wanita Tionghoa ke Asia Tenggara mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.
Imigrasi wanita Tionghoa itu bertalian dengan fasilitas penggunaan kapal api dan rendahnya biaya pengangkutan. Sejak itu, imigrasi orang-orang Tionghoa laki-laki dan perempuan meningkat sekali. iNewsSidoarjo
Editor : Yoyok Agusta Kurniawan
Artikel Terkait